Rumah
ini adalah lokasi asli tempat tinggal pahlawan nasional perempuan, Cut
Nyak Dhien. Bangunan yang ada sekarang ini adalah hasil replika karena
yang asli telah dibakar hangus oleh Belanda pada tahun 1896. Situs
sejarah ini terletak di Jalan Cut Nyak Dhien, desa Lampisang, kecamatan
Peukan Bada, Aceh Besar. Di rumah ini dulu Cut Nyak Dhien berlindung
dan menyusun strategi perang. Di rumah ini pula orang-orang berlindung
saat gelombang tsunami menerjang Aceh tahun 2004 silam.
Bangunan berbentuk tabung ini adalah
salah satu bagian yang masih asli. Ini adalah sumur yang memang dibuat
tinggi dan bibir sumur mencapai lantai dua. Bibir sumur dibuat tinggi
dengan tujuan agar tidak ada pihak musuh (Belanda) yang bisa memasukkan
racun ke dalam sumur tersebut.
“Rumah ini menghidupkan kembali kenangan pada wanita pejuang Cut Nyak
Dhien. Lebih dari sekedar nama, beliau telah mewariskan epik yang
membanggakan, sebuah pragmen sejarah yang patut dikenang ulang dan
dijadikan perlambang sebuah perjuangan panjang”. Inilah kata-kata dalam
sebuah piagam peresmian yang ada diruang tengah rumah tertanggal pada 4
februari tahun 1987 dan di tandatangani oleh Fuad Hasan.
Merupakan kediaman Cut Nyak Dien dan Teuku Umar bentuk apresiasi
pihak Belanda atas bergabungnya sang suami Cut Nyak Dien dengan Belanda,
padahal hanyalah siasat perang Teuku Umar belaka. Membutuhkan waktu 20
menit dari pusat kota Banda Aceh untuk menuju situs cagar budaya ini di
Desa Lampisang, Kecamatan Lambada Aceh Besar ini.
Pemandu dan juru kunci rumah, Asiah mengatakan rumah berukuran 25 x
15 meter, rumah yang saat ini katanya hanyalah replika. “Aslinya sudah
dibumi hanguskan Belanda setelah tahu siasat Teuku Umar,” kata Asiah
kepada Aceh Journal National Network.
Replika pun dibangun kembali, kata Asiah pada tahun 1981 dan selesai
setahun kemudian. Dengan dominasi cat hitam, rumah itu tampak sama
dengan rumah tradisional Aceh kebanyakan, ditambah sanggahan 65 pilar
serta atap rumbia dengan kontruksi bangunan kayu.
Tangga utama berjumlah ganjil terletak disebelah kanan rumah,
menghubungkan setiap pengunjung masuk dengan seuramoe rambat. Sejurus
kemudian kita melangkahkan kaki melewati 2 anak tangga, di sisi kanan
seuramoe rambat tampaklah sebuah ruangan memajang gambaran kisah
perjuangan Aceh melawan Belanda dalam bentuk pencitraan foto dan
merupakan hadiah dari pihak belanda setelah indonesia memperoleh
kemerdekaan.
Ada dua kamar diruang tengah, lengkap dengan tempat tidur khas Aceh
yang dulunya ditempati oleh para dayang Cut Nyak. Disisi kiri seuramoe
rambat adalah kamar dari Cut Nyak Dien. Terkesan bangsawan pada masanya,
kamar juga lengkap dengan asoe kama khas Aceh. Kini dapur pun dihiasi
dengan pajangan berbagai senjata tradisional khas Aceh dan set meja
makan, sumur yang ada diluar dapur terhubung dengan titian sepanjang dua
meter.
Menurut Asiah, Sumur itu digunakan Cut Nyak Dien dalam kebutuhan air
harian beliau. “Rumah ini di bakar oleh Belanda yang tersisa hanyalah
sumur ini,” ungkapnya dan menambahkan sumur itu ada semenjak rumah Cut
Nyak Dien dibangun Belanda dulu, tapi kata dia bukanlah Belanda yang
membangun. “Dibangun dengan bentuk yang tinggi seperti ini bertujuan
agar pihak penjajah tidak melempari racun kedalam sumur, kedalamanya
hingga 10 meter, dulunya juga sumur ini ada penutupnya”. jelas Asiah
lagi.
Cagar budaya Aceh satu ini dibuka setiap hari mulai pukul 8 pagi
hingga pukul 5 petang. Saban hari pengunjung datang dari berbagai daerah
dan negara. “Ada yang dari Jawa, Malaysia, dan juga pernah dari
Belanda, semua mereka yang datang terkagum melihat rumah ini,” tutur
Asiah.