Sabtu, 16 Juni 2012

Mesjid Baiturrahim Ule Lhue, Banda Aceh

Mesjid Baiturrahim Zaman Dulu

Mesjid Baiturrahim Setelah Tsunami
Mesjid Baiturrahim Beberapa Tahun Setelah Tsunami


Mesjid Baiturrahim Sekarang



Rabu, 13 Juni 2012

Rumah Cut Nyak Dhien

Rumah ini adalah lokasi asli tempat tinggal pahlawan nasional perempuan, Cut Nyak Dhien. Bangunan yang ada sekarang ini adalah hasil replika karena yang asli telah dibakar hangus oleh Belanda pada tahun 1896. Situs sejarah ini terletak di Jalan Cut Nyak Dhien, desa Lampisang, kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Di rumah ini dulu Cut Nyak Dhien berlindung dan menyusun strategi perang. Di rumah ini pula orang-orang berlindung saat gelombang tsunami menerjang Aceh tahun 2004 silam.


Bangunan berbentuk tabung ini adalah salah satu bagian yang masih asli. Ini adalah sumur yang memang dibuat tinggi dan bibir sumur mencapai lantai dua. Bibir sumur dibuat tinggi dengan tujuan agar tidak ada pihak musuh (Belanda) yang bisa memasukkan racun ke dalam sumur tersebut.

“Rumah ini menghidupkan kembali kenangan pada wanita pejuang Cut Nyak Dhien. Lebih dari sekedar nama, beliau telah mewariskan epik yang membanggakan, sebuah pragmen sejarah yang patut dikenang ulang dan dijadikan perlambang sebuah perjuangan panjang”. Inilah kata-kata dalam sebuah piagam peresmian yang ada diruang tengah rumah tertanggal pada 4 februari tahun 1987 dan di tandatangani oleh Fuad Hasan.

Merupakan kediaman Cut Nyak Dien dan Teuku Umar bentuk apresiasi pihak Belanda atas bergabungnya sang suami Cut Nyak Dien dengan Belanda, padahal hanyalah siasat perang Teuku Umar belaka. Membutuhkan waktu 20 menit dari pusat kota Banda Aceh untuk menuju situs cagar budaya ini di Desa Lampisang, Kecamatan Lambada Aceh Besar ini.

Pemandu dan juru kunci rumah, Asiah mengatakan rumah berukuran 25 x 15 meter, rumah yang saat ini katanya hanyalah replika. “Aslinya sudah dibumi hanguskan Belanda setelah tahu siasat Teuku Umar,” kata Asiah kepada Aceh Journal National Network.

Replika pun dibangun kembali, kata Asiah pada tahun 1981 dan selesai setahun kemudian. Dengan dominasi cat hitam, rumah itu tampak sama dengan rumah tradisional Aceh kebanyakan, ditambah  sanggahan 65 pilar serta atap rumbia dengan kontruksi bangunan kayu.

Tangga utama berjumlah ganjil terletak disebelah kanan rumah, menghubungkan setiap pengunjung masuk dengan seuramoe rambat. Sejurus kemudian kita melangkahkan kaki melewati 2 anak tangga, di sisi kanan seuramoe rambat tampaklah sebuah ruangan  memajang gambaran kisah perjuangan Aceh melawan Belanda dalam bentuk pencitraan foto dan merupakan hadiah dari pihak belanda setelah indonesia memperoleh kemerdekaan.

Ada dua kamar diruang tengah, lengkap dengan tempat tidur khas Aceh yang dulunya ditempati oleh para dayang Cut Nyak. Disisi kiri seuramoe rambat adalah kamar dari Cut Nyak Dien. Terkesan bangsawan pada masanya, kamar juga lengkap dengan asoe kama khas Aceh. Kini dapur pun dihiasi dengan pajangan berbagai senjata tradisional khas Aceh dan set meja makan, sumur yang ada diluar dapur terhubung dengan titian sepanjang dua meter.

Menurut Asiah, Sumur itu digunakan Cut Nyak Dien dalam kebutuhan air harian beliau. “Rumah ini di bakar oleh Belanda yang tersisa hanyalah sumur ini,” ungkapnya dan menambahkan sumur itu ada semenjak rumah Cut Nyak Dien dibangun Belanda dulu, tapi kata dia bukanlah Belanda yang membangun. “Dibangun dengan bentuk yang tinggi seperti ini bertujuan agar pihak penjajah tidak melempari racun kedalam sumur, kedalamanya hingga 10 meter, dulunya juga sumur ini ada penutupnya”. jelas Asiah lagi.

Cagar budaya Aceh satu ini dibuka setiap hari mulai pukul 8 pagi hingga pukul 5 petang. Saban hari pengunjung datang dari berbagai daerah dan negara. “Ada yang dari Jawa, Malaysia, dan juga pernah dari Belanda, semua mereka yang datang terkagum melihat rumah ini,” tutur Asiah.