Tsunami Aceh dan Nias pada Minggu 26 Desember 2004 lalu,
meninggalkan duka lara yang mendalam. Terlebih, meluluh lantahkan aset-aset
wisata di kawasan tersebut. Ketiga belas proyek infrastruktur tersebut, serta
kesepakatan damai Pemerintah RI-GAM pada 15 Agustus 2005 di Helsinki dapat
dimaknai sebagai signal positif sekaligus energi positif yang lebih memperkuat
transformasi, rebranding, dan positioning Aceh dari eks kawasan konflik dan
kawasan tertimpa gempa tsunami menjadi destinasi wisata internasional.
Adalah Aceh, provinsi paling
barat Indonesia, diapit oleh Samudera Hindia dan Selat Malaka, merupakan batas
akhir Indonesia. Letaknya amat strategis sebagai pintu masuk ke Nusantara dan
sebagian negara Asia lainnya. Ada sekitar 400 objek dan
potensi daya tarik wisata, dengan ciri khas wisata bahari. Kota Sabang
misalnya, sebagai ODTW Bahari memiliki tempat-tempat wisata bawah laut dengan
beragam jenis binatang dan tumbuhan laut yang ada di dalamnya, antara lain
Pantai Iboih di lokasi Pulau Rubiah (dikenal juga dengan taman lautnya), Batee
Dua Gapang, Batee Meuroron, Arus Balee, Seulako’s Drift, Batee Tokong, Shark
Plateau, Pantee Ideu, Batee Gla, Pantee Aneuk Seuke, Pantee Peunateung, Lhong
Angen, Pantee Gua, Limbo Gapang, Batee Meuduro, dan lain sebagainya.
Terumbu karang di sekitar Pulau
Weh misalnya, dikenal oleh wisatawan dunia sebagai surga bawah laut bagi para
penyelam, selain Bunaken (Sulawesi Utara), Gili Indah (Lombok), Supermonde
(Sulsel), Wakatobi, Derawan (Kaltim) dan Raja Ampat dan Padaido (Papua).
Hikmah penting dari sejumlah
pengalaman itu adalah, Aceh dalam dimensi pariwisata, hakikat penting
pariwisata di Aceh sebagai sarana untuk menumbuhkan kesaling-pengertian
antarbangsa, karena selama ini mungkin kurang mendapatkan porsi yang lebih
dibandingkan pariwisata yang semata-mata mengumbar kesenangan dan membelanjakan
uang tanpa sensitivitas sosial yang tinggi serta tanpa mengindahkan kepentingan
kemanusiaan. Tetapi, ketika diujicobakan untuk mengarahkan pariwisata ke arah
itu, dibutuhkan keberanian serta kalkulasi bisnis yang cermat, niscaya nurani
kemanusiaan pasar wisatawan dunia mudah tersentuh, apresiatif dan berkesan
mendalam.
Aceh Tourism Board yang selama
ini telah eksis, berperan penting dalam melakukan rebranding, positioning dan
promosi pariwisata Aceh. Dalam hal itu, dapat memanfaatkan jaringan
negara-negara Islam serta negara-negara berkembang yang tergabung dalam D-8.
Intinya, bagaimana membangun solidaritas di lingkungan D-8 yang akhirnya
membawa dampak ekonomi bagi warganya. Anggota D-8 yang terdiri Indonesia,
Malaysia, Pakistan, Iran, Mesir, Turki, Nigeria dan Bangladesh memiliki
populasi 500 juta jiwa. Negara-negara tersebut sebagian besar penduduknya
merupakan umat Islam. Secara ekonomis ini merupakan potensi pasar wisata yang
luar biasa besar bagi Aceh khususnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar