Jumat, 11 Juni 2010

History of Lonceng Cakra Donya



Lonceng atau genta yang terkenal dan termasyhur (icon kota Banda Aceh) ini sekarang diletakkan di Musium Aceh, Banda Aceh. Lonceng yang dibawa oleh Cheng Ho ini adalah pemberian Kaisar Tiongkok, pada abad ke-15 kepada Raja Pasai. Ketika Pasai ditaklukkan oleh Aceh Darussalam pada tahun 1524, lonceng ini dibawa ke Kerajaan Aceh. Pada awalnya lonceng ini ditaruh diatas kapal Sultan Iskandar Muda yang bernama “Cakra Donya” (Cakra Dunia) waktu melawan Portugis, maka itu lonceng ini dinamakan Cakra Donya.
Kapal Cakra Donya ini bagaikan kapal induk armada Aceh pada waktu itu dan berukuran sangat besar, sehingga Portugis menamakannya “Espanto del Mundo” (teror dunia). Kemudian Lonceng yang bertuliskan aksara Tionghoa dan Arab (sudah tak dapat dibaca lagi aksaranya sekarang) ini diletakkan dekat mesjid Baiturrahman yang berada dikompleks Istana Sultan. Namun sejak tahun 1915 lonceng ini dipindahkan ke Musium Aceh dan ditempatkan didalam kubah hingga sekarang (halaman Musium). Lonceng Cakra Donya ini telah menjadi benda sejarah kebanggaan orang Aceh hingga sekarang. Lonceng ini juga juga merupakan bukti dan simbol hubungan sejarah antara Tiongkok dan Aceh sejak abad ke-15. 

Jika mengunjungi Meseum Aceh yang berada di Banda Aceh, pasti akan terlihat sebuah lonceng yang berukuran raksasa yang berada sedikit jauh dengan lokasi Rumoh Aceh (rumah adat Aceh). Lonceng ini adalah hadiah kaisar Yonglee yang berkuasa di daratan China atau Tiongkok kepada Kerajaan Samudera Pasai sebagai wujud persahabatan kedua Kerajaan. Lonceng ini diantarkan langsung oleh Laksamana Cheng Ho ketika melakukan lawatan ke Aceh guna membangun kerjasama dalam bidang keamanan dan perdagangan.  Karena kala itu, Armada laut yang dimiliki oleh Kerajaan Samudera Pasai sangat kuat bahkan didukung oleh sebuah kapal induk paling besar di dunia pada saat itu yang kemudian berhasil direbut oleh Spanyol. Tidak hanya itu, pelabuhan Samudera Pasai juga menjadi pelabuhan yang paling maju, karena berada pada posisi yang sangat strategis di Selat Malaka dan juga Aceh menjadi pengekspor rempah-rempah nomor satu.

Lonceng yang berbentuk stupa ini memiliki tinggi 125 cm dan lebar 25 cm. Dibagian dinding luarnya ada tulisan bahasa Arab yang sudah agak susah dibaca karena telah termakan usia, akan tetapi tulisan Chinanya masih bisa dibaca dengan jelas kira-kira tertulis seperti ini: “Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo yang berarti (Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5). Lonceng ini diantar oleh Laksamana Cheng Ho pada abad ke 15 sekitar tahun 1414 M, mungkin ini ada kaitannya dengan tulisan China nya.

Sebenarnya lonceng ini tidak bernama dengan Lonceng Cakra Donya ketika masih berada di Kerajaan Samudera Pasai. Tidak jelas, nama apa yang diberikan pada lonceng ini ketika Laksamana Cheng Ho mengantarnya ke Kerajaan Samudera Pasai. Seperti yang telah dicatatkan sejarah, Kerajaan Samudera Pasai kemudian ditaklukkan oleh Kerajaan Aceh Darussalam dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayatsyah dan lonceng ini pun segera berpindah tangan dan menjadi milik Kerajaan Aceh Darussalam. Ketika Sultan Iskandar Muda memimpin (1607-1636), Kerajaan Aceh berada dalam puncak kejayaannya hingga memiliki daerah kekuasaan ke semenanjung Malaka (Malaysia) dan lonceng inipun ditabalkan sebagai alat penabuh aba-aba dan digantung di kapal induk Kerajaan Aceh yang bernama Cakra Donya ketika Aceh berperang melawan Portugis, sehingga lonceng ini pun bernama dengan Lonceng Cakra Donya. Ternyata Portugis sangat kagum dengan kekuatan lonceng ini sehigga mereka menyebutnya dengan Espanto del Mundo yang artinya,”Teror Dunia”.

Sayang sekali, kapal induk Aceh yang merupakan kapal perang terbesar dan kapal perang tercanggih ketika itu berhasil direbut oleh Portugis dan kemudian dikirim ke Spanyol sebagai lambang kemenangan. Salah seorang kapten kapal Portugis Faria y Sousa pernah mengucap kekagumannya terhadap kapal ini, “Tidak sia-sialah kapal itu diberi nama Cakra Donya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar