Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili.
Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau
Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13.
Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia
kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.
Inilah ulama besar yang ikut mewarnai sejarah mistik Islam di nusantara.
Namanya Sheikh Abdur Rauf Singkili, terkadang ditulis Abdur Al-Ra'uf
Al-Sinkili. Mistik Islam itu ia ajarkan melalui Tarekat Syattariyah.
Tarekat Syatariyah sendiri mulai muncul di India pada abad 15. Nama
Syattariyah dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa
mengembangkannya, yaitu Abdullah Al-Syattar.
Tarekat Syattariyah pernah menduduki posisi penting lantaran tarekat ini
merupakan salah satu tarekat yang besar pengaruhnya di dunia Islam. Di
Indonesia, tarekat ini lalu dikembangkan oleh Sheikh Singkel.
Dilahirkan di surau, Aceh, pada 1024 H/1615 M, nenek moyang Sheikh
Singkel berasal dari Persia yang datang ke Kesultanan Samudera Pasai
pada akhir abad ke-13. Nama Singkel dinisbakah pada daerah kelahirannya
itu.
Beberapa literatur menyebutkan, ayah Singkel adalah kakak laki-laki dari
Hamzah Al-Fansuri, kendati tidak cukup bukti yang meyakinkan bahwa ia
adalah keponakan Al-Fansuri. Nama yang terakhir ini merupakan seorang
ulama yang juga filsuf yang terkenal dengan pantheismenya.
Namun, ada pula yang menyatakan bahwa ayah Singkel, yakni Syeikh 'Ali
adalah seorang Arab yang telah mengawini wanita setempat dari Fansur
(Barus), sebuah kota pelabuhan tua di Sumatera Barat. Keluarga itu
lantas menetap di sana.
Pendidikan pertama Singkel didapatkan di tempat kelahirannya, Singkel,
terutama dari ayahnya yang merupakan seorang alim. Ayahnya juga
mempunyai pesantren. Singkel pun menimba ilmu di Fansur, karena ketika
itu negeri ini menjadi salah satu pusat Islam penting di nusantara serta
merupakan titik hubung antara orang Melayu dan kaum Muslim dari Asia
Barat dan Asia Selatan. Beberapa tahun kemudian, Singkel berangkat ke
Banda Aceh, ibukota kesultanan Aceh dan belajar kepada Syams al-Din
al-Samatrani, seorang ulama pengusung doktrin Wujudiyyah.
Sejarah perjalanan karier Singkel diawali saat dia menginjakkan kaki di
jazirah Arab pada 1052 H/1642 M. Tercacat ada sekitar 19 guru yang
pernah mengajarinya dengan berbagai disiplin ilmu Islam di samping
sebanyak 27 ulama terkemuka lainnya.
Tempat belajarnya tersebar di sejumlah kota yang berada di sepanjang
rute haji, mulai dari Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman,
Jeddah, Makkah serta Madinah. Studi keislamannya dimulai di Doha, Qatar,
dengan berguru pada seorang ulama besar, Abd Al-Qadir al Mawrir.
Ketika di Yaman, Singkel belajar di sebuah kota bernama Bayt al-Faqih
yakni dengan keluarga Ja'man. Beberapa anggota keluarga ini terkenal
sebagai ahli sufi dan ulama terkemuka, antara lain Ibrahim Muhammad
Ja'man serta Faqih al-Thayyib Abi al-Qasim Ja'man. Sebagian ulama Ja'man
adalah juga murid-murid dari Ahmad Al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani.
Guru paling berpengaruh terhadap pemahaman keagamaan Singkel adalah
Ibrahim Abdullah Ja'man, seorang muhaddits dan faqih. Di samping itu dia
juga seorang pemberi fatwa yang produktif. Seperti diuraikan Dr
Azyumardi Azra dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, sebagian besar waktu Singkel dihabiskan
untuk mempelajari ilm al-zhahir (pengetahuan eksoteris) seperti fiqih,
hadits dan subyek lain yang terkait. Sementara guru Singkel yang lain,
yakni Ishaq Muhammad Ja'man, terkenal sebagai muhaddits dan faqih di
Bayt al-Faqih.
Ketika belajar di Zabid, Singkel banyak menimba ilmu kepada Abd Al-Rahim
al-Shiddiq Al-Khash, Amin Al-Shiddiq al-Mizjaji dan Abd Allag Muhammad
Al-Adani. Sejumlah ulama Yaman semisal Abd Fatah Al-Khash, Sayyid
al-Thahit Al-Maqassari, Qadhi Muhammad Abi Bakr Muthayr dan Ahmad Abu
Al-Abbas al-Muthayr juga banyak berhubungan dengan Singkel.
Sesuai urutan rute haji, diketahui kemudian bahwa Singkel menyinggahi
kota Jeddah di Saudi Arabia dimana dia belajar dengan muftinya Abd
Al-Qadir Al-Bharkali. Selanjutnya di Makkah, Singkel belajar dengan Badr
Al-Din al-Luhuri dan Abd Allah Al-Luhuri. Guru Singkel terpenting di
Makkah adalah Ali Abd Al-Qadir.
Singkel juga menjalin hubungan dengan beberapa ulama terkemuka di
Makkah. Antara lain Isa al-Maghribi, Abd Al-Aziz Al-Zamzani, Taj Al-din
Ibn Ya'qub, Ala' Al-Din Al-Babili, Zayn Al-Abidin Al-Thabari, Ali Jamal
Al-Makki dan Abd Allah Sa'id Ba Qasyir al-Makki. Dari banyak ulama
inilah yang akhirnya menjadi bagian dari jaringan Singkel dalam upayanya
menyebarkan pembaruan dan pengetahuan Islam di nusantara.
Perjalananan akhir Singkel adalah di Madinah sekaligus menyelesaikan
pelajarannya. Di kota tersebut, dia belajar dengan dua orang ulama
penting, Ahmad Al-Qusyasyi dan khalifahnya Ibrahim al-Kurani. Dari
Al-Qusyasyi dia mempelajari ilmu-ilmu dalam (ilm al bathin) yakni
tasawuf dan ilmu terkait lainnya. Oleh gurunya itu, Singkel lantas
ditunjuk sebagai khalifah Syathariyyah dan Qadiriyyah. Ini sekaligus
menandai selesainya pelajaran dalam jalan mistis.
Ibrahim Al-Kurani banyak menanamkan pelajaran secara intelektual kepada
Singkel. Pelajaran yang tidak hanya menyangkut pemikiran melainkan pada
tingkah laku pribadi dan ilmu pengetahuan tentang pemahaman intelektual
Islam bukannya pengetahuan spiritual atau mistis.
Kedua ulama tersebut menjadi sentral dalam pencarian pengetahuan religi
spiritual Singkel. Bahkan tak berlebihan jika al-Qusyasyi telah dianggap
sebagai guru spiritual dan mistis Singkel sementara Al-Kurani menjadi
guru intelektualnya.
Kualitas intelektual Singkel tak perlu diragukan lagi berkat didikan
para ulama terkemuka saat itu. Pengetahuannya bisa dibilang sangat
lengkap. Mulai dari syariat, fiqih, hadist, disiplin ilmu ekosoteris
hingga kalam dan tasawuf.
Karier mengajarnya dimulai di Haramayn (Mekah dan Madinah). Hal ini
dinilai Azyumardi Azra tidak mengherankan mengingat menjelang datang ke
Makkah dan Madinah, Singkel telah mempunyai pengetahuan memadai untuk
disampaikan kepada kaum muslim di Melayu-Indonesia. Selama 19 tahun dia
belajar di tanah Arab. Merasa sudah cukup menggali ilmu dari banyak
ulama, Singkel memutuskan kembali ke nusantara.
Ia kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta
mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya di Arab. Murid yang
berguru kepadanya makin bertambah banyak dan bukan hanya berasal dari
sekitar wilayah Aceh saja tapi seantero nusantara. Tak sedikit di antara
murid-muridnya tadi menjadi ulama terkenal seperti Syeikh Burhanuddin
dari Ulakan (Pariaman, Sumbar), Abd Al-Muhnyi dari Jawa Barat serta
Dawud Al-Jawi Al-Fansuri Ismail Agha Mushthafa Agha 'Ali Al-Rumi asal
Turki.
Karena pengetahuannya yang luas itu, maka Sultanah Shafiyyat Al-Din
menunjuk Singkel menjadi Qadhi Malik Al-'Adil atau mufti yang
bertanggungjawab terhadap administrasi masalah keagamaan di kesultanan
Aceh. Dengan dukungan sultanah, Singkel berhasil menghapus ajaran Salik
Buta, tarekat yang sudah ada sebelumnya.
Aceh ketika itu masih diramaikan pertentangan antara penganut doktrin
Wujudiyyah dan Nuruddin Al-Raniri. Namun tidak ada sumber yang
menyebutkan bahwa Singkel pernah bertemu dengan Al-Raniri sekitar
periode 1047 H/1637 M dan 1054 H/1644-45 M. Kendati demikian, Singkel
berusaha melepaskan diri dari kontroversi dua paham tersebut.
Singkel meninggal tahun 1105 H/1693 M. Dia dimakamkan di dekat kuala
atau mulut sungai Aceh. Tempat tersebut juga menjadi kuburan untuk
istri-istrinya, murid kesayangannya Dawud Al-Rumi dan murid-murid
lainnya. Di kemudian hari, ia dikenal dengan nama Tengku Syech Kuala
yang namanya diabadikan pada perguruan tinggi di Banda Aceh yakni
Universitas Syiah Kuala. Singkel pun dikenal sebagai Wali Tanah Aceh.
Makamnya hingga kini ramai dikunjungi para peziarah.
Singkel Dalam Karya
Sepanjang hidupnya, tercatat Singkel sudah mengggarap sekitar 21 karya
tulis, terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadits, 3 kitab fiqih dan
selebihnya kitab ilmu tasawuf. Bahkan tercatat kitab tafsirnya berjudul
Turjuman al-Mustafid(Terjemah Pemberi Faedah) adalah kitab tafsir
pertama yang dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu.
Dia juga menulis sebuah kitab fiqih berjudul Mi'rat at-Tullab fi Tahsil
Ahkam asy-Syari'yyah li al Malik al-Wahhab (Cermin bagi Penuntut Ilmu
Fiqih pada Memudahkan Mengenal Hukum Syara' Allah) yang ditulis atas
perintah Sultanah. Sementara di bidang tasawuf, karyanya yakni Umdat
al-Muhtajin(Tiang Orang-Orang yang Memerlukan), Kifayat al-Muhtajin
(Pencukup Para Pengemban Hajat), Daqaiq al-Huruf (Detail-Detail Huruf)
serta Bayan Tajalli(Keterangan Tentang Tajali).
Namun, di antara sekian banyak karyanya, terdapat salah satu yang
dianggap penting bagi kemajuan Islam di nusantara yaitu kitab tafsir
berjudul Tarjuman al-Mustafid. Ditulis ketika Singkel masih berada di
Aceh, kitab ini telah beredar luas di kawasan Melayu-Indonesia bahkan
hingga ke luar negeri. Diyakini oleh banyak kalangan, tafsir ini telah
banyak memberikan petunjuk sejarah keilmuan Islam di Melayu. Di samping
pula kitab tersebut berhasil memberikan sumbangan berharga bagi telaah
tafsir al-quran dan memajukan pemahaman lebih baik terhadap
ajaran-ajaran Islam.
Pada bagian lain, pendapat Singkel terhadap paham wahdadul
wujuddipaparkannya dalam karya Bayyan Tajali. Karya ini juga merupakan
usahanya untuk merumuskan keyakinan pada ajaran Islam. Dia berujar bahwa
betapapun yakin seorang hamba kepada Allah, khalik dan mahluk tetap
memiliki arti tersendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar