Didalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya
bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai
kota-kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li
(Lamuri). Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur
dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah
catatan terperinci mengenai Aceh modern.
Kerajaan Samudra-Pasai
adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh
para pedagang dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok pada abad ke 13
-16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur sutera laut yang menghubungi
Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah, dimana para pedagang dari
berbagai negara mampir dahulu /transit sebelum melanjutkan pelayaran
ke/dari Tiongkok atau Timur Tengah, India.
Selain kota-kota
tersebut di atas, Kota Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh
Marco Polo (abad ke-13) dan Ibnu Batuta (abad ke-14) dalam perjalanannya
ke Cina. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai adalah
lada yang banyak diekspor ke Cina. Sebaliknya barang-barang dari Cina
seperti sutera, keramik, dan lain-lain diimpor ke Pasai. Pada abad
ke-15, armada Cheng Ho juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan
memberikan lonceng besar yang tertanggal 1409 M (Cakra Donya) kepada
raja Pasai. Di Kota Samudera Pasai selain pribumi banyak tinggal
komunitas Cina. Mengenai keberadaan komunitas Cina di sana juga
didapatkan dalam Hikayat Raja-Raja Pasai yang menyebutkan adanya
“Kampung Cina”. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri (abad
ke-16), komunitas Cina telah berada di Aceh sejak abad ke-13.
Para pedagang termasuk pedagang dari Cina selain ada yang tinggal dan
berdagang secara permanen di ibukota Aceh, ada juga pedagang musiman
yang datang dengan kapal layar pada bulan-bulan tertentu. Kapal-kapal
(jung) Cina membawa beras ke Aceh. Mereka tinggal dalam perkampungan
Cina di ujung kota dekat pelabuhan. Rumah mereka berdekatan satu sama
lainnya dan mereka menurunkan barangnya di pelabuhan itu dari kapal
untuk selanjutnya didistribusikan. Lokasi tempat menurunkan barang
tersebut kini dikenal sebagai Peunayong.
Peunayong adalah bagian
dari wilayah kota tua Banda Aceh yang didesain Belanda sebagai Chinezen
Kamp alias Pecinan. Peunayong dihuni warga Cina dari Suku Khe, Tio Chiu,
Kong Hu,Hokkian, dan subetnis lainnya. Kegiatan perdagangan di kawasan
itu cukup menonjol karena berdagang merupakan mata pencaharian utama
etnis Cina yang pada umumnya tumbuh di lingkungan pusat bisnis. Selain
aktivitas perdagangan juga terdapat aktivitas keagamaan, ini nampak dari
keberadaan sebuah wihara di antara deretan rumah dan toko modern yang
berada di Jl. T Panglima Polem, Peunayong. Sepanjang pagi hari, kawasan
Peunayong tak ubahnya seperti kawasan Glodok di Jakarta, atau Petaling
Jaya di Kuala Lumpur, Malaysia. Pedagang Cina dan warga asli Aceh
berbaur dengan pengunjung pasar yang didominasi warga Cina. Suasana
kedai kopi pun tampak dipenuhi generasi tua masyarakat Cina yang
mengenakan kaus sederhana, menikmati kopi, menghisap rokok, sambil
bercakap dalam dialek Khe diselingi ucapan bahasa Mandarin.
PEUNAYONG, pecinan Aceh, kampong dunia. Mungkin ini juga berkorelasi
dengan akronim ACEH – Arab, Cina , Eropa, dan Hindi. Sebab cacatan
sejarah, wilayah Aceh menjadi tempat pertemuan pedagang dari berbagai
negeri. Seperti ditulis Denys Lombard dengan mengutip tentang sejarah
raja-raja Cina, dinukilnya dalam Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda.
Orang Cina menyebut Aceh dengan kata A-ts’i. Ketika tahun 1405, seorang
laksamana negeri Tiongkok, Zheng He—yang kita Cheng Ho, melakukan
ekspedisi. Dia tangan kanan kaisar Yongle, kaisar ketiga Dinasti Ming.
Lalu, ada catatan tentang Cheng Ho yang dating ke Aceh dengan membawa
armada raksasa, 62 kapal besar dan belasan kapal kecil berawak 27.800
orang.
Cheng Ho berada di kapal berlambung besar bernama Pusaka.
Ini kapal terbesar di abad itu. Panjang 138 meter, lebar 18 meter, dan
berbobot hingga 2.500 ton. Rombongan laksamana itu berangkat seusai
shalat di sebuah masjid tua di kota Quanzhou, provinsi Fujian, langsung
menuju pulau dan negeri-negeri di Asia Tenggara, tibalah di A-ts’I,
Samudera Pasai. Sebagai ole-ole diberilkanlah sebuah genta raksasa—genta
besi dinamai Cakra Donya. Bermula dari sini hubungan kedua bangsa,
sama-sama berdagang menjual porselen, kertas, tembakau, teh, dan lada
sejak abad ke-17.
Cakra Donya ditabalkan pada nama kapal Sultan
Iskandar Muda yang genta raksasa digantung di buritannya ketika
bertempur dengan pasukan Portugis di Malaka. Menang dalam pertempuran,
Cakra Donya dipindahkan ke dekat Masjid Raya Baiturrahman. Genta
setinggi 1,25 meter dengan diameter satu meter yang berukit tulisan Arab
dan Cina.
Peunayong kampung cina menjadi Pacinan Aceh masa lalu.
Maka memandang Peunayong, bagaimana mengapreasi –atau mereduksi ulang
"bingkai" gambar masa lalu; mengingat lagi Landmark Aceh yang tetap pada
langgam sama seperti masa lalunya, seperti cerita “Taman Gairah” dalam
dua kultur yang berurat-rurat dan melekat dalam satu ikon Peunayong.
Taman Gairah, sebuah taman tempat bercengkerama keluarga sultan yang di
dalam taman itu telah dibangun “Balai Cina” (paviliun) yang dibuat oleh
para pekerja Cina.
Peunayong adalah bagian dari wilayah kota tua
Banda Aceh yang didesain Belanda sebagai Chinezen Kamp alias Pecinan.
Dulu di Peunayong, sepanjangi hari, ubahnya seperti kawasan Glodok di
Jakarta, atau Petaling Jaya di Kuala Lumpur, Malaysia.. Pedagang Cina
dan warga asli Aceh berbaur dengan pengunjung pasar yang didominasi
warga Cina. Suasana kedai kopi pun tampak dipenuhi generasi tua
masyarakat Cina yang mengenakan kaus sederhana, menikmati kopi,
menghisap rokok, sambil bercakap dalam bahasa Hakka Kwantung, Hok Kian,
Hai Nan dan Kong Hu atau dalam dialek khe diselingi bahasa Mandarin
medok Acehya…
Peunayong, ruko pecinan yang, ikon sejarah Aceh
yang terabaikan. Padahal catatan sejarah tertua mengenai
kerajaan-kerajaan di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah
Cina. Sebut saja catatan sejarah Dinasti Liang tahun 506-556 M yang
terungkap dalam buku Zhufanzhi, tersebutlah Lanwuli (Lamuri) di pantai
timur Aceh. Dan pada tahun 1282 M, diketahui bahwa raja Samudera Pasai
mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsudin) utusan ke negeri Cina. Atau
Ying Yai Sheng Lan, Ma Huan dalam pelayarannya bersama Laksamana Cheng
Ho, mencatat dengan lengkap mengenai kota-kota di Aceh seperti, A-lu
(Aru), sumendala (Samudera), dan Lanwuli (Lamuri). Dalam catatan Dong Xi
Yang Kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh
Zhang Xie pada tahun 1618, mencatat secara terperinci mengenai Aceh yang
telah modern, dan di Kota Samudera Pasai selain pribumi banyak tinggal
komunitas Cina yang dikenal “Kampung Cina”. Jadi, jauh sebelum kerajaan
Aceh Darussalam berdiri (abad ke-16), kompung Cina telah berada.
Orang Cina itu ternyata bukan hanya pandai berdagang untuk memajukan
Aceh, tapi ikut berperang mengorbankan jiwa. Kita ingat Mayor John Lie
bersama pasukannya menerobos blokade Belanda melalui Aceh dengan speed
boat yang satunya dikenal speed boat bernama “The Outlaw”, sehingga Aceh
tak pernah dikuasai Belanda. Kenapa kita generasi kini tak bisa berkaca
dari kisah ini. Toh, Nabi Muhammad saw pernah bersabda ‘tuntutlah ilmu
sampai ke negeri Cina’. Kenapa ke Cina? Jawabnya karena di sana ada
ketekunan dan keuletan. Terutama dalam perilaku bisnis orang-orang Cina.
Mereka memiliki system yang mentradisi apa yang disebut
Guangxigiye—berasal dari Guanxi yakni relasi, Giye yakni perusahaan
sehingga guangxigiye, maksudnya sebuah kelompok perusahaan yang memiliki
sesuatu yang sama. Lewat Guanxi, mampu membangun relasi sehingga
menjadi maju.
Peunayong adalah gambaran kejayaan pecinan Aceh,
lanscap budaya dan tradisi leluhur setelah abad ke-18 Masehi yang mesti
dijaga, setelah banyak situs sejarah menjadi punah dalam berbagai
tragedi di di Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar