Jumat, 11 Juni 2010

History of Laksamana Ceng Ho

Didalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai kota-kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li (Lamuri). Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah catatan terperinci mengenai Aceh modern.
Kerajaan Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah, dimana para pedagang dari berbagai negara mampir dahulu /transit sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok atau Timur Tengah, India.
Selain kota-kota tersebut di atas, Kota Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad ke-13) dan Ibnu Batuta (abad ke-14) dalam perjalanannya ke Cina. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai adalah lada yang banyak diekspor ke Cina. Sebaliknya barang-barang dari Cina seperti sutera, keramik, dan lain-lain diimpor ke Pasai. Pada abad ke-15, armada Cheng Ho juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan lonceng besar yang tertanggal 1409 M (Cakra Donya) kepada raja Pasai. Di Kota Samudera Pasai selain pribumi banyak tinggal komunitas Cina. Mengenai keberadaan komunitas Cina di sana juga didapatkan dalam Hikayat Raja-Raja Pasai yang menyebutkan adanya “Kampung Cina”. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri (abad ke-16), komunitas Cina telah berada di Aceh sejak abad ke-13.
Para pedagang termasuk pedagang dari Cina selain ada yang tinggal dan berdagang secara permanen di ibukota Aceh, ada juga pedagang musiman yang datang dengan kapal layar pada bulan-bulan tertentu. Kapal-kapal (jung) Cina membawa beras ke Aceh. Mereka tinggal dalam perkampungan Cina di ujung kota dekat pelabuhan. Rumah mereka berdekatan satu sama lainnya dan mereka menurunkan barangnya di pelabuhan itu dari kapal untuk selanjutnya didistribusikan. Lokasi tempat menurunkan barang tersebut kini dikenal sebagai Peunayong.
Peunayong adalah bagian dari wilayah kota tua Banda Aceh yang didesain Belanda sebagai Chinezen Kamp alias Pecinan. Peunayong dihuni warga Cina dari Suku Khe, Tio Chiu, Kong Hu,Hokkian, dan subetnis lainnya. Kegiatan perdagangan di kawasan itu cukup menonjol karena berdagang merupakan mata pencaharian utama etnis Cina yang pada umumnya tumbuh di lingkungan pusat bisnis. Selain aktivitas perdagangan juga terdapat aktivitas keagamaan, ini nampak dari keberadaan sebuah wihara di antara deretan rumah dan toko modern yang berada di Jl. T Panglima Polem, Peunayong. Sepanjang pagi hari, kawasan Peunayong tak ubahnya seperti kawasan Glodok di Jakarta, atau Petaling Jaya di Kuala Lumpur, Malaysia. Pedagang Cina dan warga asli Aceh berbaur dengan pengunjung pasar yang didominasi warga Cina. Suasana kedai kopi pun tampak dipenuhi generasi tua masyarakat Cina yang mengenakan kaus sederhana, menikmati kopi, menghisap rokok, sambil bercakap dalam dialek Khe diselingi ucapan bahasa Mandarin.
PEUNAYONG, pecinan Aceh, kampong dunia. Mungkin ini juga berkorelasi dengan akronim ACEH – Arab, Cina , Eropa, dan Hindi. Sebab cacatan sejarah, wilayah Aceh menjadi tempat pertemuan pedagang dari berbagai negeri. Seperti ditulis Denys Lombard dengan mengutip tentang sejarah raja-raja Cina, dinukilnya dalam Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda.
Orang Cina menyebut Aceh dengan kata A-ts’i. Ketika tahun 1405, seorang laksamana negeri Tiongkok, Zheng He—yang kita Cheng Ho, melakukan ekspedisi. Dia tangan kanan kaisar Yongle, kaisar ketiga Dinasti Ming. Lalu, ada catatan tentang Cheng Ho yang dating ke Aceh dengan membawa armada raksasa, 62 kapal besar dan belasan kapal kecil berawak 27.800 orang.
Cheng Ho berada di kapal berlambung besar bernama Pusaka. Ini kapal terbesar di abad itu. Panjang 138 meter, lebar 18 meter, dan berbobot hingga 2.500 ton. Rombongan laksamana itu berangkat seusai shalat di sebuah masjid tua di kota Quanzhou, provinsi Fujian, langsung menuju pulau dan negeri-negeri di Asia Tenggara, tibalah di A-ts’I, Samudera Pasai. Sebagai ole-ole diberilkanlah sebuah genta raksasa—genta besi dinamai Cakra Donya. Bermula dari sini hubungan kedua bangsa, sama-sama berdagang menjual porselen, kertas, tembakau, teh, dan lada sejak abad ke-17.
Cakra Donya ditabalkan pada nama kapal Sultan Iskandar Muda yang genta raksasa digantung di buritannya ketika bertempur dengan pasukan Portugis di Malaka. Menang dalam pertempuran, Cakra Donya dipindahkan ke dekat Masjid Raya Baiturrahman. Genta setinggi 1,25 meter dengan diameter satu meter yang berukit tulisan Arab dan Cina.
Peunayong kampung cina menjadi Pacinan Aceh masa lalu. Maka memandang Peunayong, bagaimana mengapreasi –atau mereduksi ulang "bingkai" gambar masa lalu; mengingat lagi Landmark Aceh yang tetap pada langgam sama seperti masa lalunya, seperti cerita “Taman Gairah” dalam dua kultur yang berurat-rurat dan melekat dalam satu ikon Peunayong. Taman Gairah, sebuah taman tempat bercengkerama keluarga sultan yang di dalam taman itu telah dibangun “Balai Cina” (paviliun) yang dibuat oleh para pekerja Cina.
Peunayong adalah bagian dari wilayah kota tua Banda Aceh yang didesain Belanda sebagai Chinezen Kamp alias Pecinan. Dulu di Peunayong, sepanjangi hari, ubahnya seperti kawasan Glodok di Jakarta, atau Petaling Jaya di Kuala Lumpur, Malaysia.. Pedagang Cina dan warga asli Aceh berbaur dengan pengunjung pasar yang didominasi warga Cina. Suasana kedai kopi pun tampak dipenuhi generasi tua masyarakat Cina yang mengenakan kaus sederhana, menikmati kopi, menghisap rokok, sambil bercakap dalam bahasa Hakka Kwantung, Hok Kian, Hai Nan dan Kong Hu atau dalam dialek khe diselingi bahasa Mandarin medok Acehya…
Peunayong, ruko pecinan yang, ikon sejarah Aceh yang terabaikan. Padahal catatan sejarah tertua mengenai kerajaan-kerajaan di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Cina. Sebut saja catatan sejarah Dinasti Liang tahun 506-556 M yang terungkap dalam buku Zhufanzhi, tersebutlah Lanwuli (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282 M, diketahui bahwa raja Samudera Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsudin) utusan ke negeri Cina. Atau Ying Yai Sheng Lan, Ma Huan dalam pelayarannya bersama Laksamana Cheng Ho, mencatat dengan lengkap mengenai kota-kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), sumendala (Samudera), dan Lanwuli (Lamuri). Dalam catatan Dong Xi Yang Kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, mencatat secara terperinci mengenai Aceh yang telah modern, dan di Kota Samudera Pasai selain pribumi banyak tinggal komunitas Cina yang dikenal “Kampung Cina”. Jadi, jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri (abad ke-16), kompung Cina telah berada.
Orang Cina itu ternyata bukan hanya pandai berdagang untuk memajukan Aceh, tapi ikut berperang mengorbankan jiwa. Kita ingat Mayor John Lie bersama pasukannya menerobos blokade Belanda melalui Aceh dengan speed boat yang satunya dikenal speed boat bernama “The Outlaw”, sehingga Aceh tak pernah dikuasai Belanda. Kenapa kita generasi kini tak bisa berkaca dari kisah ini. Toh, Nabi Muhammad saw pernah bersabda ‘tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina’. Kenapa ke Cina? Jawabnya karena di sana ada ketekunan dan keuletan. Terutama dalam perilaku bisnis orang-orang Cina. Mereka memiliki system yang mentradisi apa yang disebut Guangxigiye—berasal dari Guanxi yakni relasi, Giye yakni perusahaan sehingga guangxigiye, maksudnya sebuah kelompok perusahaan yang memiliki sesuatu yang sama. Lewat Guanxi, mampu membangun relasi sehingga menjadi maju.
Peunayong adalah gambaran kejayaan pecinan Aceh, lanscap budaya dan tradisi leluhur setelah abad ke-18 Masehi yang mesti dijaga, setelah banyak situs sejarah menjadi punah dalam berbagai tragedi di di Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar